Bermoral Dalam Menggunakan Media Sosial

0
969
bijak sosial media
Semakin berkembangnya dunia tekhnologi, semakin banyak juga perubahan prilaku social masyarakat dari yang awalnya hanya sebatas lingkup tetangga sebelah kini lebih luas ke ranah umum bahkan orang yang tak kita kenal sekalipun bisa berpengaruh dalam kehidupan kita, karena duni maya. Semua mata bisa melihat apapun yang kita posting. 
Di dunia maya semua ada, mulai dari makanan, hingga masalah pribadi, semua tumpah di sana. Ada beberapa orang saat terkena masalah ia tak tahu harus bercerita kepada siapa karena ia tak memiliki kepercayaan pada orang terdekatnya, hingga ia memutuskan untuk memposting segala maslah pribadi, kekecewaan, kesedihan di dunia maya.Kita sering menemui postingan di dunia maya dengan nada putus asa dan menyedihkan seperti ini
” Ya Allah kenapa hidup semenderita begini”
“Rasanya sudah gak sanggup jika harus begini”
“Kok hidup menderita amat ya, mati lebih enak kayaknya”.
Hampir setiap hari kita menemui postingan seperti ini, awalnya rasa simpati itu muncul, tapi semakin kesini semakin bikin jengkel setengah mati. Kita mengaggap hal itu hanya mencari perhatian dan memgundang banyak tanggapan, lalu dengan enteng kita yang sudah merasa bosan berkomentar “mati aja sana, langsung menghadap Tuhan, gak usah kebanyakan drama”.Beberapa hari berselang ia tak lagi memposting hal-hal menyedihkan, bahkan tak lagi muncul di media sosial, ternyata beberapa hari kemudian kita mengetahui bahwa ia bunuh diri.
Kasus seperti di atas bukan hanya sekali atau dua kali, bahkan sering. Kasus tersebut memiliki pangkal masalah yang sama yakni bullying. Bahkan tak sampai di kematian, saat sudah matipun masih menjadi perdebatan, beberapa opinipun bertebaran. Kira-kira begini kalimatnya “kalau memang dasarnya baik, dibully pun tetap baik, kalau dasarnya punya iman di bullypun gak akan pernah bunuh diri”. 
Saat saya membaca hal tersebut rasanya otak saya berhenti berfikir, apakah maksud dari komentar tersebut mengatakan bahwa kita bebas membully orang lain, karena toh jika orangnya baik ia akan tetap baik, kuat, dan tak akan bunuh diri, paling cuma nangis dikit, begitukah?.
Apakah simpati kita masih begitu minim, saat saya melihat beberapa komentar netizen masih ada yang bernada sinis. Padahal opini mengasihani orang yang frustasi dan depresi hingga bunuh diri itu bukan berarti mendukung hal salah yang sudah mereka lakukan. Justru opini itu adalah ajakan untuk saling menghargai orang lain. 
Agar lain kali lebih hati-hati menjaga lidah dan jari. Bicara dan bertindaklah pakai hati, kalau gak bisa, ya jangan mencaci. Sayangnya para netizen masih belum mencapai kesadaran tersebut, beberapa netizen masih suka memegang prinsip “dia yang salah bagaimanapun juga tetap salah” daripada “oh iya, kasian sekali hidupnya, karena bullyan dari netizen ia jadi bunuh diri, lain kali harus tahan jari”. Entah karena ia merasa dili paling benar, paling beriman atau merasa diri enggak baperan, jadi semudah itu berkomentar.
Sampai sini saya semakin faham, semakin maju tekhnologi nyatanya tak diimbangi dengan moral yang baik juga. Benar, nyatanya perasaan simpati itu kini semakin mahal. Kita tak pernah tahu tentang media social toh nyatanya kita hanya iseng pakai jari, tapi siapa yang bias menjamin jika keisengan jari kita ditanggapi pakai hati. Bullyan bukanlah hal yang biasa dan sepele, dimana hal tersebut akan mempengaruhi mental si korban. Bully is bully, then it turns criminal.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here